Preman Meudeng Putih Menodai Status Pemangku



DENPASAR - Memasuki dan berada di era global, akan seperti wahana atau wadah tanpa bingkai. Artinya hidup tidak ada sekat-sekat yang pasti. Siapa mengerjakan apa. Dalam bahasa agama, telah terjadi tumpang tindih ihwal fungsi.

Ini bagian dari demokratisasi agama dalam era global, Segala profesi merupakan kesempatan dan hak. Semua orang boleh mengikuti serta meraihnya. Padahal kalau bicara fungsi, pastinya berlandaskan struktur.
Strukturnya ada dimana dan fungsinya apa.

Tapi faktanya terkadang antara struktur, konstruksi, dan isinya tidak seimbang. Dalam konsep agama, struktur menyangkut masalah susunan sistematika. Sementara konstruksi menyangkut isi yang menyusun struktur.

Realita ini lalu masuk ke ranah agama sehingga ada preman yang berpenampilan layaknya orang suci. Berpakaian putih, meudeng putih menyerupai pemangku bahkan sulinggih. Dengan bangganya mereka menunjukkan diri. Sewaktu-waktu tampil menjadi pemangku, di suatu saat menjadi preman. Tapi beginilah kenyataan dunia.

Kenapa bisa seperti itu? Karena fakta ini bagian dari budaya global yang serba hiper. Masalah setuju tidak setuju, masalah mengamini atau menentang, itu urusan lain bagi mereka,Urusan belakangan. Yang penting mereka bisa tampil beda dan tidak mempedulikan opini publik.

Dulu orang takut menjadi pemangku atau sulinggih. Tapi sekarang sebaliknya. Mereka berlomba untuk itu. Tanpa mempertimbangkan siap atau tidaknya diri. Suci tidaknya diri. Tapi kita tentu tidak bisa melarang karena itu hak asasi. Sang waktu yang akan melakukan tugasnya, seleksi alam.

Tapi sejujurnya, hal-hal seperti inilah yang menodai status pemangku ataupun sulinggih. Yang tidak demikian, berpotensi dicap demikian.

Ada satu sulinggih jual banten. Karena itu terjadi generalisasi, Semua sulinggih akan dianggap menjual banten. Sesungguhnya, fenomena seperti itu adalah bentuk ketidaksiapan personal saat masih walaka. Kemudian terbawa di ranah sulinggih. Dibutuhkan kesejatian kita karena emas tetaplah emas. Peran lembaga agama sendiri berada dalam persimpangan jalan.

Pertanyaan, apakah lembaga agama sudah melakukan seleksi secara benar? Jika menelisik ajaran agama, ada yang disebut upanisad. Memberikan ajaran yang bersifat pingit, tenget, dan sakral itu sifatnya rahasia upadesa.

Tidak sembarang orang bisa menerimanya. Tapi sekarang, semua orang diberikan. Dalihnya bermacam, bahkan untuk menghindari neraka. (*)

Sumber : http://bali.tribunnews.com/
Share this article :
+
Previous
Next Post »
0 Komentar untuk "Preman Meudeng Putih Menodai Status Pemangku"