I Wayan Sukanada, 45, mengaku gembira akhirnya krematorium jadi dibangun.
“Krematorium ini sanggup menjadi solusi bagi penduduk yg kesusahan biaya & tenaga utk upacara ngaben,” ujarnya. Beliau sendiri mengaku belum membutuhkan krematorium dikarenakan sejauh ini tiap-tiap pengabenan dilakukan dengan cara kolektif di kampung halamannya, Manggis, Karangasem.
Minggu, 7 Agustus lalu, Sukanada dgn sejumlah masyarakat Tonja Denpasar Timur lainnya mendatangi ruangan pembangunan krematorium Santha Yana yg dibangun oleh soroh (klan) Maha Gotra Pasek Sanak Sapta Rsi (MGPSSR) di Bali.
MGPSSR yakni nama group bagi masyarakat bersama garis keturunan pasek, bukan falsafah dalam Hindu. Tidak Hanya penduduk Pasek yg ialah mayoritas, terdapat belasan klan yang lain di Bali.
Tiap-tiap hri pekan, jumlahnya masyarakat Pasek bergotong royong merampungkan ruangan alternatif ngaben yg digagas group clan paling besar di Bali ini.
Berlokasi di Desa Ke-2, Peguyangan, Denpasar Utara, krematorium ini direncanakan mulai sejak beroperasi awal th 2009. Pembangunan Krematorium Santha yana sudah dimulai sejak Juni 2008 & diperkirakan dapat menelan budget keseluruhan Rp 1 milyar. kini pembangunan step I sudah selesai & di areal itu sudah berdiri areal pembakaran jenazah & pelinggih (tugu) Prajapati.
Sementara di kantor MGPSSR tempat berlangsungnya Pesamuhan Agung III, belakang lokasi krematorium ini, Walikota Denpasar IB Dharmawijaya Mantra meresmikan dgn membuka tabir papan nama Krematorium Santha Yana.
“Nama Santha Yana diberikan banyaknya sulinggih yg artinya jalan damai,” ucap Prof dr. I Wayan Wita, Ketua MGPSSR.
Beliau memaparkan krematorium ini dicetuskan setahun dulu, waktu Pesamuhan Agung (konferensi) MGPSSR II, yg mendiskusikan perihal konflik penduduk memperebutkan hak memanfaatkan setra (ruang pemakaman). hal tersebut berjalan di antaranya karena sengketa status masyarakat adat atau persoalan lain. “Sayang sekali, kalau masyarakat tak mampu melakukan upacara ngaben sebab konflik,” kata Wita yg mantan rektor Kampus Udayana Denpasar ini.
Argumen yang lain merupakan keresahan masyarakat sebab mahalnya biaya ngaben. “Pembuatan krematorium merupakan jalan realistis buat mengatasi persoalan ekonomi akibat mahalnya anggaran pembakaran jenazah atau pelaksanaan bade (wadah jenazah). Jenazah mampu serentak di bawa kesini dari rumah atau rumah sakit untuk dikremasi,” terang Wita.
Wita menegaskan fasilitas kremasi ini tak akan menggantikan desa pekraman sebagai penyelenggara ngaben atau proses ritual yang lain. “Krematorium cuma alternatif di tengah banyak masalah yg dihadapi penduduk saat jalankan pengabenan,” imbuhnya.
“Sudah beroperasi krematorium ini, biayanya pula terjangkau, cuma Rp 1 juta, sedangkan buat penduduk kurang mampu pastinya biaya dapat dirundingkan bersama,” papar Wita.
Krematorium ini terbuka untuk dimanfaatkan oleh umum termasuk juga penduduk Hindu perantauan, jenazah tanpa identitas di rumah sakit, pula masyarakat dari agama lain.
Menurut Wita, krematorium ini diusulkan pun oleh Persatuan Pekerja Hindu Indonesia, yg anggotanya seputar 60.000. Kelompok ini, sebut Wita, berasal dari luar Bali & kerap kesusahan jikalau ada kerabatnya wafat.
Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, I Gusti Ngurah Sudiana pada pendapat yg dipublikasikan MGPSSR, mengatakan dukungannya pada krematorium tersebut.
“Ini adalah jawaban yg intelektual atas masalah umat saat ini. Jawaban ini bakal mendapat sambutan hangat di hari depan,” jelasnya.
Sudiana yakin pendirian krematorium ini dapat memicu kontroversi di kalangan tokoh-tokoh Hindu.
“Kalo ada kontroversi, biasa itu. Di Bali kan benar-benar demikian, jikalau ada saudara berkarya maka orang-orang Bali tentu ribut. Tapi jikalau orang Non-Bali yg menciptakan sesuatu, orang Bali cepat bungkam,” menurutnya.
Menurut Sudiana, krematorium ini selayaknya dijadikan model oleh dinas Hindu yang lain. “Kalau mampu seluruhnya desa pekraman di Bali membangun & mempunyai krematorium-nya masing-masing, dikarenakan ini dapat menciptakan upacara ngaben kita jadi lebih praktis, efisien, pun lebih aman dari segi kesehatan,” jelasnya.
Ada sejumlah pilihan yg dapat diberikan jasa krematorium ini. Pertama, menyediakan jasa kremasi saja, yg di buka utk seluruhnya penduduk. Ke-2, pelaksanaan ngaben sebelum nyekah, dikarenakan nyekah mampu dilakukan di rumah atau ruang lain. Atau bisa pula ngaben dengan cara penuh di krematorium ini, bersama sarana upacara yg bisa dibeli atau disiapkan sendiri termasuk juga sulinggih (pemimpin upacara).
“Abu jenazah sanggup dilarung di Sungai Ayung yg bersisian bersama krematorium ini. Mudah-mudahan tak ada keluhan soal anggaran ngaben lagi bagi umat Hindu,” tutur Jero Mangku Dalem Babakan, pemilik lahan area krematorium yg memantau pembangunannya.
Dia menyampaikan lebih kurang 3000 masyarakat Hindu & agama lain sudah mendaftar utk memanfaatkan krematorium ini nanti. “Ada yg membakar jenazah saja ada pula yg laksanakan ngaben dengan cara penuh,” ujarnya.
Menurut Jero Mangku Dalem, saatnya penduduk Hindu buat lebih mengutamakan makna upacara dibanding berfoya-foya mengeluarkan biaya buat perihal yg bersifat duniawi. Dia mencontohkan pemakaian bade (wadah jenazah) megah yg sebenarnya tak lumrah dipakai terhadap periode dulu.
“Jenazah biasa dibawa dgn pepaga (semacam keranda dari bambu). Lebih ringan & sederhana, sukup diangkut empat orang ke setra. Yg kita bawa mati kan cuma karma (hasil aksi semasa hidup). Upakara cuma fasilitas saja,” tukasnya.
Pemakaian krematorium, menurut Jero Mangku Dalem tak dapat mengurangi makna ngaben lantaran proses & upakaranya diserahkan terhadap desa & keluarganya. “Ini hanya kremasi secara modern, lebih langsung & tertutup. Ini pula salah satu solusi apabila ada yg tak sanggup atau akibat konflik rutinitas,” imbuhnya.
Saat ini, krematorium yg berdiri diatas lahan 600 m2 ini baru selesai sekitar 30 %. Kalau sudah selesai, krematorium ini akan terdiri dari tempat penyimpanan jenazah, wantilan, bale pemujaan tempat sulinggih, tungku pembakaran, & area parkir.
0 Komentar untuk "Krematorium: Ruangan Ngaben Sederhana Alternatif Mengatasi Masalah Ekonomi Dan Konflik Umat "