Oleh: I Ketut Diarmita
Ketika saya merenung dan berpikir
tentang pulau Bali dengan berbagai persoalannya, saya teringat dengan Dewi Drupadi dalam kisah Mahabarata. Karena Yudistira kalah berjudi, Drupadi yang
dijadikan taruhan lalu ditelanjangi didepan sidang orang-orang terhormat oleh Dursasana.
Menghadapi penghinaan ini Drupadi menggugat para tetua terhormat itu, mengapa
mereka diam saja terhadap perlakuan Dursasana.
Untunglah Sri Krisna tanpa diketahui terus menambah kain sarinya,
sehingga Dursasana kelelahan sendiri dan tidak berhasil menelanjangi Drupadi.
Ada beberapa poin penting yang
patut di garis bawahi dalam epos ini, yaitu:
Pertama: Bahwa di situ ada seorang raja yang tidak saja buta secara
fisik, tetapi juga buta karena nafsu dan ambisinya yang banyak dipengaruhi oleh
sangkuni, iparnya yang sangat licik.
Kedua : Di situ ada para pandawa suami Dewi Drupadi yang gagah
perkasa dan juga para Rsi Agung antara lain : Rsi Bisma, Rsi Drona, Kripa
Acarya, tetapi semuanya tidak dapat berkata apapun saat Drupadi ditelanjangi di
depan sidang kerajaan.
Ketiga: Ada perjudian yang sangat bertentangan dengan moral dan
agama
Keempat: Para ksatria
tangguh serta para bijaksana dengan gelar “Rsi” diam seribu bahasa saat melihat
adegan penghinaan Dewi Drupadi oleh Dursasana di depan mata mereka.
Ketidak berdayaan para bijak dan
para kesatria dalam menegakkan “kebenaran” ini “seanolog” dengan ketidak
berdayaan berbagai pihak dalam menata pulau Bali yang semakin di telanjangi
oleh arus Urbanisasi masyarakat yang di picu oleh “sayembara dolar di arena bisnis pariwisata”.
Arus pendatang di Bali begitu
deras seakan tak terkendalikan, mereka datang untuk menikmati pesona pulau Bali
yang mirip dengan kecantikan Dewi Drupadi. Arus pendatang itu menambah beban
dan sekaligus merisaukan hati pengusa local dan penduduk local. Untuk memecah
persoalan tersebut di butuhkan aturan-aturan yang dapat membatasi percepatan
urbanisasi, terutama bagi yang tidak jelas setatusnya.
Salah satu aturan patut
ditegakkan untuk menata bali adalah peraturan yang diharuskan setiap orang yang
tinggal di Bali wajib menjunjung tinggi dan turut melestarikan Bali sebagai
pulau Hindu seperti termanifestasi dalam konsep Tri Hita Karana dan program ajeg
bali.
Ajeg bali adalah upaya penyelamatan asset dunia, bukan hanya asset orang
Bali. Jika peradaban Bali yang dilandasi ajaran Hindu musnah, maka pariwisata
juga musnah, dan para pekerja pariwisatapun akan kehilangan sumber kehidupannya.
Catatan penting yang harus selalu diingat bahwa “Seorang turis datang kebali
karena Bali cantik, unik, antic, seni, indah yang latar belakang budaya Hindu”.
Seorang sarjana barat menulis
sebuah artikel tentang Ajeg Bali menyatakan
bahwa Ajeg Bali merupakan konsep yang
sangat berguna bagi orang Bali. Terbukti kosep itu mampu memicu dan mendorong
masyarakat untuk mendiskusikan tentang kebudayaan Bali.
Hal senada juga disampaikan oleh
dua sarjana Australia, professor Jeff Lewis dan Belinda Lewis ketika memberi kuliah umum pada program
kajian budaya UNUD, Denpasar. Jeff dan Belinda juga memperkenalkan buku tentang
bali berjudul bali’s silent crisis; desire, tragedy and transition (krisis bali yang di pendam; harsat, tragedy,
dan transisi).
Judul ini mengingatkan kita kisah
Dewi Drupadi saat mengalami krisis mental akibat memendam kemarahan dan dendam
yang disebabkan oleh peristiwa penelanjangan dirinya oleh Dursasana adik dari Duryodana.
Sementara itu, tidak ada satu orang bijak, ksatria termasuk suaminya mampu
melindunginya. Demikian analogi dapat digunakan ketika kita membahas tentang
krisis mental yang terjadi pada Bali saat ini.
Beragam pendapat atas
perkembangan Bali yang sangat cepat akibat pertumbuhan idustri paristiwa. Ada yang
berpendapat bahwa pariwisata adalah polusi kebudayaan, yang mengikis kebali-an Bali.
Ada juga yang berpendapat bahwa pariwisata menyebabkan desakralisasi kebudayaan Bali, disisi lain mereka juga tahu
bahwa sumber utama ekonomi pulau Bali berasal dari sector pariwisata.
Tradisi dan budaya Bali dianggap
sebagai komuditas (aset) pariwisata yang menguntungkan, karena itu banyak
pelaku pariwisata menjual kesenian yang bersifat sacral menjadi tontonan
pariwisata yang profan semata. Hal mana terjadi karena pelaku pariwisata tidak
dapat membedakan antara agama dan tradisi. Hal ini disebabkan karena
keseluruhan hidup masyarakat Bali adalah representasi dari agama Hindu. Karena itu
sulit untuk membedakan hal yang sakral dan profan.
Penguasa local tentu sudah memikirkan
dampak yang diakibatkan, celakanya yang datang ke Bali adalah lebih banyak kaum
buruh kasar, pedagang kaki lima, namun mereka bekerja dengan ulet dan pantang
menyerah. Yang seolah-olah mereka terorganisir dengan strategi sangat halus.
Kita harus malu mendengar anekdot
yang berkembang di masyarakat yang mengatakan “Jual bakso untuk beli tanah di Bali,
sebaliknya orang Bali jual tanah untuk beli bakso” anekdot tersebut ada
benarnya.
Bali yang dulu terlihat cantik
kini berubah jadi bangunan tinggi, lalu lintas yang semrawut, banyak maling
atau rampok dll.
Pertanyaannya, apakah para Penguasa
yang memiliki otoritas dalam menata pulau Bali hanya berpangku tangan saat
melihat kecantikan dan keaslian Dewi Drupadi diperkosa? Apakah kita juga akan
menerima kutuk seperti kemarahan Dewi Drupadi, karena kita tidak berbuat
sesuatu untuk membela dan melindungi pulau Bali. Mari kita tanyakan pada hati
kita masing-masing!
0 Komentar untuk "Kondisi Bali Dan Kisah Dewi Drupadi Ditelanjangi"